Ketika
Tuhan
Memerintahkan “Keluar” !!
Memerintahkan “Keluar” !!
Enam
tahun lebih jemaat GKMI Ebenhaezer beribadah di Jln.Pemuda 333 Pati. Sebuah
lokasi yang tenang dengan halaman yang luas dan harga sewa yang sangat murah.
Bangunan dan tanah tersebut milik jemaat yang diijinkan ditempati jemaat GKMI
Ebenhaezer sejak awal kelahirannya, 17 Agustus 2008. Dari bangunan kecil
berdinding kayu, Tuhan memberkati menjadi sebuah bangunan rumah ibadah
berdinding bata lengkap dengan AC dan perangkat ibadah modern. Dari halaman
berhias rumput, Tuhan menganugerahkan lahan luas untuk ibadah outdoor berlantai
semen cor dan blok khusus taman bermain anak. Dari ketiadaan dana, Tuhan
memberikan anugerah sehingga mampu merenovasi bangunan dengan biaya mendekati
200 juta, operasional rutin gereja tanpa defisit bahkan mampu menyalurkan
berkat bagi
jemaat tak mampu dan korban-korban bencana alam. Dari komunitas kecil
terabaikan dan dipandang sebelah mata,
menjadi sebuah gereja yang tercatat di lembaga pemerintahan, relasi
interdenominasi hingga menjadi pionir bagi gerakan bersama gereja-gereja
se-kota Pati dalam berbagai aktivitas dan komunitas. Dari sebuah kelompok kecil
26 orang berkembang menjadi 200 anggota, 50 lebih simpatisan, 35 anak Sekolah
Minggu dan puluhan pemuda/remaja. Dan semuanya terjadi hanya dalam waktu 6
tahun. Tak heran jika jemaat merasa nyaman dan enggan beranjak dari “tanah
pinjaman” tersebut, bahkan memberanikan diri “meminta” kepada Tuhan agar apa
yang dipinjam dapat diberikan untuk dimiliki jemaat.
Namun
Tuhan berkehendak lain. Tuhan tidak ingin jemaat merasa nyaman di rumah
pinjaman. Tuhan tidak mau jemaat terus berada di tanah dan bangunan bukan milik
sendiri. Tuhan pun tidak berkehendak mengubah status “pinjaman” menjadi
“pemberian”. Anugerah Tuhan sudah lebih dari cukup untuk di syukuri, jauh lebih
dari cukup untuk membangun ketahanan dan mentalitas jemaat untuk mandiri dan
berusaha memiliki tanah sendiri.
Dan Tuhanpun berkata “Keluar dari tanah itu !!”.
Meski sempat terlintas dalam pikiran bahwa selalu ada kemungkinan untuk pindah, namun berita yang diterima jemaat melalui pemilik tanah, Ibu Priscilla Oentari, Hamba Tuhan pendamping Ps. Yabez Priyantoro dari YHS Church Semarang sempat membuat shock juga. Meskipun terasa berat, namun beliau meyakini suara yang didengarnya dari Tuhan, bahwa GKMI Ebenhaezer tidak diijinkan lagi memperpanjang kontrak dan harus segera keluar dari lokasi Jln.Pemuda 333, selambat-lambatnya akhir tahun 2014. Pada bulan Maret 2014 berita diterima jemaat, dan jemaat bergumul dalam cemas dan doa. Sebagian jemaat mempertanyakan keabsahan perintah Tuhan, sebagian jemaat “menggedor” pintu kemurahan Tuhan agar tanah tersebut diberikan pada jemaat, sebagian lagi “merayu” Tuhan minta perpanjangan waktu agar cukup kesempatan mencari tanah yang tepat, sebagian lagi meng-imani perintah Tuhan tersebut dengan keyakinan bahwa rencana Tuhan pasti baik. Jemaat tetap bersatu sebagai komunitas, namun “terpecah” dalam keyakinan. Tidak ada kesepakatan bulat. Doa dalam ibadah pun simpang siur, tergantung siapa yang berdoa dan apa yang diyakininya. Waktu terus berjalan tanpa ada titik terang sekalipun gembala jemaat sudah melantik Panitia pencarian/pembelian tanah pada bulan Mei 2014. Tidak ada langkah apapun yang diambil, selain berdoa dan mohon Tuhan menggerakkan hati pemilik agar memberi perpanjangan waktu. Namun pemilik tetap berpegang pada keyakinannya akan kebenaran perintah Tuhan setelah dua kali dipergumulkan dalam doa di taman Getsemani Ungaran.
Dan Tuhanpun berkata “Keluar dari tanah itu !!”.
Meski sempat terlintas dalam pikiran bahwa selalu ada kemungkinan untuk pindah, namun berita yang diterima jemaat melalui pemilik tanah, Ibu Priscilla Oentari, Hamba Tuhan pendamping Ps. Yabez Priyantoro dari YHS Church Semarang sempat membuat shock juga. Meskipun terasa berat, namun beliau meyakini suara yang didengarnya dari Tuhan, bahwa GKMI Ebenhaezer tidak diijinkan lagi memperpanjang kontrak dan harus segera keluar dari lokasi Jln.Pemuda 333, selambat-lambatnya akhir tahun 2014. Pada bulan Maret 2014 berita diterima jemaat, dan jemaat bergumul dalam cemas dan doa. Sebagian jemaat mempertanyakan keabsahan perintah Tuhan, sebagian jemaat “menggedor” pintu kemurahan Tuhan agar tanah tersebut diberikan pada jemaat, sebagian lagi “merayu” Tuhan minta perpanjangan waktu agar cukup kesempatan mencari tanah yang tepat, sebagian lagi meng-imani perintah Tuhan tersebut dengan keyakinan bahwa rencana Tuhan pasti baik. Jemaat tetap bersatu sebagai komunitas, namun “terpecah” dalam keyakinan. Tidak ada kesepakatan bulat. Doa dalam ibadah pun simpang siur, tergantung siapa yang berdoa dan apa yang diyakininya. Waktu terus berjalan tanpa ada titik terang sekalipun gembala jemaat sudah melantik Panitia pencarian/pembelian tanah pada bulan Mei 2014. Tidak ada langkah apapun yang diambil, selain berdoa dan mohon Tuhan menggerakkan hati pemilik agar memberi perpanjangan waktu. Namun pemilik tetap berpegang pada keyakinannya akan kebenaran perintah Tuhan setelah dua kali dipergumulkan dalam doa di taman Getsemani Ungaran.
Akhirnya
pasca HUT GKMI Ebenhaezer ke-6, Agustus 2014, kesepakatan berhasil dibangun.
Jemaat dengan terbuka dan tulus bersedia menerima kehendak Tuhan sebagaimana yang disampaikan pemilik tanah selaku pemegang otoritas yang diberikan Tuhan, dan mulai bersatu hati dalam doa senada, yaitu mohon pertolongan Tuhan untuk
pencarian lokasi tanah yang baru bagi GKMI Ebenhaezer. Jemaat tetap mengucap
syukur untuk kebaikan tuan rumah yang memberi waktu sampai akhir Desember 2014,
sekalipun kontrak seharusnya sudah habis pada bulan Agustus.
Sebuah
Langkah Pencarian
Bagaimanapun
juga, logika jemaat turut berbicara dan "menggoda" keyakinan. Mungkinkah dalam waktu singkat mencari
lokasi bagi gereja ? Dana yang dimiliki hanya sekitar 100 juta, apa yang bisa
didapatkan dengan dana sekian ? Mencari tanah bagi gereja, membutuhkan banyak
pertimbangan. Bukan hanya kesediaan penjual melepaskan tanahnya untuk dibeli
bagi rumah ibadah, faktor lingkungan juga sangat menentukan. Bahkan sekalipun
bangunan dan lingkungan dimungkinkan untuk dijadikan gereja, pertimbangan lain
juga tidak dapat diabaikan, seperti jarak lokasi tersebut dengan domisila
rata-rata jemaat, kapasitas ruang yang mampu menampung sekitar 200 jemaat,
tersedianya ruang-ruang bagi Sekolah Minggu atau lingkungan yang harus aman
bagi anak-anak. Logika berkata tidak mungkin ditinjau dari kekuatan dana,
keterbatasan waktu dan tuntutan kebutuhan yang harus terjawab. Muncullah rasa
cemas, tangis ketakutan, kebingungan dan ragam gejolak rasa yang menantang
iman.
Dalam
keadaan tiada alternatif lain, satu-satunya jalan yang bisa dipilih jemaat
adalah berserah pada Tuhan dan berusaha mencari – sekalipun serasa tak mungkin.
Dalam ketidakberdayaan, kuasa Tuhan semakin nyata. Doa-doa dipanjatkan jemaat dalam penyerahan sekalipun bernuansa kebimbangan.
Mungkinkah dalam waktu beberapa bulan mendapatkan lokasi bagi gereja di kota
Pati ? Otak berkata “impossible”, namun iman berkata “tiada yang mustahil bagi
Tuhan”. Meski bimbang namun jemaat “dipaksa” untuk memilih tetap melangkah
dalam iman ataukah berdiam diri menunggu “kematian”. Meski nampaknya tak ada
harapan, namun upaya terus dilakukan. Segala informasi di gali, semua khabar
tanah dijual ditelusuri.
Tercatat sudah 43 lokasi yang dikaji. Ada yang menetapkan harga terjangkau namun lingkungan menolak, ada yang menetapkan harga terlalu tinggi untuk lokasi yang kurang memadai, bahkan ada yang semula sudah sepakat namun segera membatalkan ketika mengetahui akan digunakan untuk gereja. Ada pula lokasi yang sudah cukup tepat, namun sayangnya tidak mampu menampung jumlah jemaat. Ada pula lokasi yang luas, namun jaraknya cukup jauh dari rata-rata domisili jemaat. Juga ada lokasi yang luas dengan jarak yang tidak terlalu jauh, namun sayangnya berupa tanah kosong, sehingga dibutuhkan ekstra dana untuk membangun dalam waktu yang singkat. Meski demikian, alternatif-alternatif tersebut terus dipergumulkan dalam doa dan minta pencerahan hikmat dari Tuhan
Tercatat sudah 43 lokasi yang dikaji. Ada yang menetapkan harga terjangkau namun lingkungan menolak, ada yang menetapkan harga terlalu tinggi untuk lokasi yang kurang memadai, bahkan ada yang semula sudah sepakat namun segera membatalkan ketika mengetahui akan digunakan untuk gereja. Ada pula lokasi yang sudah cukup tepat, namun sayangnya tidak mampu menampung jumlah jemaat. Ada pula lokasi yang luas, namun jaraknya cukup jauh dari rata-rata domisili jemaat. Juga ada lokasi yang luas dengan jarak yang tidak terlalu jauh, namun sayangnya berupa tanah kosong, sehingga dibutuhkan ekstra dana untuk membangun dalam waktu yang singkat. Meski demikian, alternatif-alternatif tersebut terus dipergumulkan dalam doa dan minta pencerahan hikmat dari Tuhan
Ketika
Doa Berjumpa Anugerah
Waktu
terus merambat, batas makin mendekat dan jemaat terus berharap. Akhirnya Tuhan
menuntun ke sebuah lokasi di “Tanah Godi” di kelurahan Parenggan – Pati. Apakah
ini merupakan tanah harapan bagi GKMI Ebenhaezer ? Inilah yang penulis jumpai :
1.
Ketika melihat lokasi tersebut penulis terkejut
karena setahun sebelumnya, adik pemilik rumah sudah menjumpai penulis dan
memberikan informasi bahwa tanah dan rumah kakaknya di jual, bahkan sudah
menyerahkan foto copy sertifikat. Penulis sempat mengunungi lokasi tersebut, namun
karena tidak ada pemikiran untuk pindah lokasi dari Jln.Pemuda 333, dan tidak
terbersit sama sekali ide membeli tanah, maka penulis hanya melihat lokasi
tersebut namun dengan segera mengabaikannya. Penulis baru sadar, bahwa setahun
sebelumnya, ternyata Tuhan sudah memberitahukan bahwa lokasi tersebut akan
menjadi lokasi baru bagi GKMI Ebenhaezer. Sama sekali tak terduga.
2.
Lokasi tersebut memiliki luas 567 M2,
memanjang ke belakang. Ada satu rumah tinggal di depan dengan 3 kamar dan ruang
tamu tanpa sekat yang dapat menampung sekitar 75 kursi. Di belakang rumah
tersebut ada halaman terbuka dengan 3 buah kamar mandi (1 tidak berfungsi) dan
1 ruang cuci. Makin ke belakang, terdapat sebuah bangunan pabrik permen
berdinding bambu. beratap seng yang sangat luas, dan dapat menampung 150 kursi.
Di belakangnya masih ada tanah kosong. Memang saat itu nampaknya tidak menarik.
Dari tampilan depan rumah yang memiliki pintu lipat yang sudah kusam, ditambah
dengan garasi asal tempel yang terbuat dari seng membuat rumah tersebut
terkesan suram. Halaman tengah memiliki 2 pohon mangga besar dengan rumput liar
yang tinggi. Bangunan pabrik permen nampak kotor dan penuh barang-barang tak
terpakai. Dinding gedhek yang berlobang di sana-sini, jalan masuk dari samping
yang sangat sempit. Dan halaman paling belakang terdapat pohon mangga dengan
tumpukan sampah yang tinggi. Jelas
kurang menarik, sehingga beberapa panitia agak keberatan dengan loaksi
tersebut. Namun entah mengapa, penulis melihat lebih dari apa yang terlihat.
Dengan keterdesakan waktu, andaikata pabrik dibersihkan tanpa renovasi
sedikitpun, pasti sudah bisa menampung jemaat, meski sedikit berdesakan.
bangunan di depan dengan 3 kamar bisa digunakan untuk ruang anak. halaman
tengah dapat dipakai untuk parkir dan seterusnya… ada ragam pikiran hadir. Dan
penulis cenderung memilih tempat ini, meski harganya tinggi.
3.
Pemiliknya beragama Katholik, dan sangat senang
jika rumahnya dijadikan gereja. harga yang semula di buka 1.250.000.000 di
turunkan menjadi 1.200. jt, dan akhirnya turun lagi menjadi 1,175 jt.
4.
Lokasi
tersebut berada tepat di gerbang masuk kota dari arah utara, masih terhitung
lingkungan kota, yang di sebut “penthol Godi” (gerbang dengan sepasang bulatan
bola besar (penthol) di atas gapura kanan kiri). Lokasi yang strategis dari
semua arah domisili rumah jemaat, dilalui angkutan kota. Mudah dicapai dari
arah Semarang/Kudus, maupun Tayu. Tepat di tepi jalan. Memiliki jalan tembus 2
menit ke Pastori di Mertokusuman. Sebelah kanan blok pemukiman terdapat sungai,
dan di belakangnya terdapat makam umum. Lokasi ini dapat dikatakan “nyaris” tak
pernah tidur, dengan 3 lampu utama jalan tepat di tengah pertigaan di depan
lokasi. Dan (ditambah) patung Semar – Sang Pamomong simbol jawa Tengah tepat di
depan lokasi bakal gereja menghadap kea rah gereja, sehingga mudah buat
“ancer-ancer”. Lokasi ini jauh dari masjid/gereja lain sehingga tidak akan
mengganggu. Dekat dengan Rumah sakit Umum, pasar, pusat PMI, apotik, Ruko,
kost-kostan karyawan, halte bus dan berbagai kuliner. Sungguh lokasi yang
sangat strategis.
5.
Dengan mengamati makam umum di belakang blok
lokasi, penulis yakin bahwa masyarakatnya sangat terbuka dengan kehadiran agama
lain (mayoritas penduduk beragama Islam). Mengapa demikian ? Penulis ingat
informasi seorang dosen lintas agama di Duta Wacana yang mengatakan bahwa
“tanah makam” akan mencerminkan sikap warga terhadap pluralisme. Jika makam
tersebut merupakan makam khusus satu agama, maka sikap masyarakat cenderung
tertutup bagi kehadiran agama lain di wilayah tersebut. Namun jika makam
tersebut juga terdapat makam orang-orang Kristen, maka hal itu mencerminkan
keterbukaan warga. Dan hal ke-dua inilah yang penulis jumpai.
6.
Semakin terbukti ketika penulis melihat bahwa
loaksi bakal gereja, dikelilingi keluarga-keluarga Kristen. Sebelah kiri dan
belakang merupakan anggota keluarga dari beberapa tokoh pendeta GITJ. Sebelah
kanan keluarga jemaat GIA, dan sebelahnya lagi juga Kristen. selisih satu blok
ruko, juga keluarga katholik. Dari survey, penulis menemukan bahwa mereka semua
menyambut antusias kehadiran gereja. Survey lanjutan, penulis lakukan dalam
pertemuan umum dengan warga satu RT, setelah mensosialisasikan rencana
pendirian gereja, masyarakat (sebagaimana penulis duga) menyambut dengan
terbuka dan tidak mempermasalahkannya. justru salahs eorang tokoh warga
mengatakan bahwa kehadiran gereja akan membuktikan bahwa wilayah tersebut
pluralis dan akan menjadi “revolusi mental” bagi orang-orang yang
ekstrim-eksklusif. daerah itu akan menjadi contoh hidup berdampingan yang
sehat.
7.
Survey meningkat pada aparat pemerintah.
Ternyata RT di situ adalah keponakan salah satu jemaat aktif, dan beliau
menyatakan tidak keberatan (bahkan istrinya dulu juga Kristen). RW juga
mendukung, karena beliau orang Kristen bahkan majelis di gerejanya. Beliau
menyatakan telah bertahun-tahun berdoa agar di keluarahan Parenggan ada gereja
yang didirikan, karena selama ini tidak ada. Pak Lurah, ternyata adalah lurah
pindahan dari kelurahan Kalidoro, yaitu lokasi gereja yang lama. Beliau
menyambut gembira, karena dulunya GKMI Ebenhaezer saat berdiri juga disetujui
dan didukung beliau, bahkan dalam sambutannya di dalam gereja, beliau
menyatakan lebih baik memberikan ijin buat gereja daripada buat karaoke.
Seorang tokoh paranormal yang sangat berpengaruh (beliau penasehat spiritualnya
Gubernur Ganjar) mengatakan kepada para aparat, bahwa kehadiran gereja jangan
ditolak karena akan membawa berkah bagi kelurahan parenggan.
Akhirnya panitiapun sepakat
menetapkan tanah tersebut menjadi tanah anugerah Tuhan untuk GKMI Ebenhaezer.
Berkat Tuhanpun mengalir, sehingga tanah tersebut dapat dibeli dengan pinjaman
lunak dari beberapa jemaat yang menggalang dana. Jemaatpun mempersembahkan
emas, kayu, material bangunan (semen,pasir, batu bata), hingga atap galvalum
berangka besi senilai lebih dari 80 juta. Bahkan Tuhan menggerakkan hati yang
penuh kasih dari saudara-saudara seiman di berbagai tempat dan GGKMI di berbagai
kota untuk turut ambil bagian meringankan beban yang harus di tanggung
oleh jemaat kecil ini. Sungguh semangat
“bertolong-tolongan menanggung beban” (Galatia 6:2) yang patut mendapat
apresiasi dan terukir dalam lembar perjalanan sejarah bergereja.
"Hitherto the Lord has helped
us."
Januari 2015
Ebenhaezer
From the desk
of Daniel Lauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar