Nama
“Godi” cukup mengundang tanya, apakah maknanya. Seorang warga menyebut artinya
sebagai sejenis nama senjata. Masyarakat Halmahera memakai kata ini untuk
menunjukkan arti “kenikmatan”. Nampaknya, Godi merupakah tanah anugerah yang
menyenangkan. Namun dalam refleksi penulis, penulis mengartikan GODI sebagai
“God and I” (Allah dan aku). Dengan alasan :
1. Tanah
tersebut merupakan inisiatif Allah sebagai yang utama, dan dapat terwujud
ketika manusia (aku) menyambut langkah inisiatfi Allah tersebut. Respon ini
membuka berkat dan jalan Allah bagi GKMI Ebenhaezer.
2. Sebuah
gambar menarik dari Michaelangelo yang melukis di atap kapel Sistina
menunjukkan keterpautan tangan Allah dan tangan manusia di awal penciptaan.
Terpadunya karya Allah dengan manusia membuka kemungkinan bagi penciptaan baru.
3. God
& I sungguh-sungguh mencerminkan esensi dari Ebenhaezer, yaitu Allah yang
memberikan pertolongan. Hal ini nyata dari perjalanan GKMI Ebenhaezer hingga saat ini. Ada banyak hal yang serasa tak masuk akal, tak terprediksikan, tak terjangkau kemampuan namun nyatanya bisa terjadi. Jika bukan Tuhan, tidak mungkin manusia mencapainya.
4. Sebagai
sebuah GKMI, istilah “aku dan Aku” sudah tidak asing karena menjadi judul dari
buku khusus katekisasi bagi calon warga jemaat. kata “aku” yang pertama
menunjukkan manusia, sedangkan kata “AKU” yang ekdua menunjukkan hakekat Allah.
Dengan demikian judul ini menunjukkan kebersatuan Allah dan manusia. hanya
bedanya, manusia di tempatkan sebelum Allah; sedangkan pemaknaan “God & I”
menunjukkan posisi Allah sebagai yang pertama dan utama. Manusia tanpa Allah
tak ada artinya, bagaikan angka “nol” di depan angka SATU yang menunjukkan
Allah yang Esa. (0001). Sebaliknya ketika Allah yang nomor satu, maka angka nol akan memiliki
arti. Semakin banyak nol-nya semakin nilainya berarti. (1.000.000 dst).
5. Sampai
sekarang penulis masih tidak memahami bagaimana Tuhan membentuk jemaat GKMI
Ebenhaezer di jalan Pemuda No.333, sebanyak 333 x. Kok pas ?? Tuhan menganggap
cukup 333 x dan diperintahkan keluar, pindah ke lokasi baru di tanah anugerah
“God and I”. Penulis ingat dulu saat jemaat galau karena terintimidasi dan terabaikan dari saudara-saudara, seolah berada di padang pasir yang panas dan menyiksa. Dan Tuhan "membiarkan" jemaat belajar dan mengasah diri dari situasi tersebut. Tepat pada minggu ke-40, jemaat diberikan Tuhan naungan hukum dari GKMI Surabaya. Angka "40" dalam Numerologi Alkitab memiliki makna yang dalam terkait persiapan dan pembentukan, sebagaimana pernah dialami Musa, Tuhan Yesus dan bangsa Israel. Bangsa Israel menuju Tanah Perjanjian selama 40 tahun di padang pasir hingga Tuhan ijinkan menemukan Tanah Kanaan itu.
Mulai
Penataan Awal
Tanggal
17 November secara resmi terjadi transaksi jual beli di hadapan Notaris
Christiana, SH. Pemilik diberikan kesempatan menempati lokasi tersebut sampai bulan
Pebruari 2015, setelah seluruh biaya di lunasi, namun bangunan pabrik di
belakang dapat di renovasi sehingga pada bulan Januari dapat ditempati untuk
ibadah.
Tgl. 20 November, Bp.Gembala Jemaat, Pdm.Daniel Kurniawan meletakkan batu pertama pembangunan, dilanjutkan pada minggu-mingg berikutnya dengan pembersihan ruangan yang dikerjakan dengan kerja bakti jemaat. Tua muda, laki-laki perempuan, kaya miskin semua terlibat untuk menata rumah Tuhan dengan penuh sukacita dan harapan. Pembangunan mulai diadakan meskipun secara resmi, ijin pendirian gereja dan IMB belum dimiliki. Hal ini dengan “nekad” dilakukan, karena akhir Desember 2014 jemaat sudah harus keluar dan sejak Januari 2015 sudah tidak memiliki bangunan untuk beribadah. Bangunan pabrik tersebut kurang layak digunakan karena kotor, penuh barang, dindingnya dari gedhek yang sudah rusak dan atapnya dari rangka kayu kelapa yang sudah lapuk. Atas kesepakatan bersama, dinding gedhek di bongkar dan diganti batu-bata agar suara ibadah tidak terlalu menggangu lingkungan, lantai cukup di cor semen tanpa keramik dulu, atap diganti dengan galvalum dan rangka besi (persembahan jemaat). halaman belakang di habiskan, menjadi ruang konsistori. Meskipun waktu sangat mendesak, namun pekerjaan pembangunan dilangsungkan. Sayangnya, seringkali hujan turun sehingga pembangunan agak terhambat. Namun tidak ada kata menyerah, bahkan sekalipun harus lembur dan melibatkan puluhan tukang.
Tgl. 20 November, Bp.Gembala Jemaat, Pdm.Daniel Kurniawan meletakkan batu pertama pembangunan, dilanjutkan pada minggu-mingg berikutnya dengan pembersihan ruangan yang dikerjakan dengan kerja bakti jemaat. Tua muda, laki-laki perempuan, kaya miskin semua terlibat untuk menata rumah Tuhan dengan penuh sukacita dan harapan. Pembangunan mulai diadakan meskipun secara resmi, ijin pendirian gereja dan IMB belum dimiliki. Hal ini dengan “nekad” dilakukan, karena akhir Desember 2014 jemaat sudah harus keluar dan sejak Januari 2015 sudah tidak memiliki bangunan untuk beribadah. Bangunan pabrik tersebut kurang layak digunakan karena kotor, penuh barang, dindingnya dari gedhek yang sudah rusak dan atapnya dari rangka kayu kelapa yang sudah lapuk. Atas kesepakatan bersama, dinding gedhek di bongkar dan diganti batu-bata agar suara ibadah tidak terlalu menggangu lingkungan, lantai cukup di cor semen tanpa keramik dulu, atap diganti dengan galvalum dan rangka besi (persembahan jemaat). halaman belakang di habiskan, menjadi ruang konsistori. Meskipun waktu sangat mendesak, namun pekerjaan pembangunan dilangsungkan. Sayangnya, seringkali hujan turun sehingga pembangunan agak terhambat. Namun tidak ada kata menyerah, bahkan sekalipun harus lembur dan melibatkan puluhan tukang.
Pengurusan IMB
Sebagai
ketentuan SK bersama 2 menteri, sebuah gereja bisa didirikan jika memenuhi
persyaratan minimal yaitu adanya 60 tanda tangan warga dan 90 tanda tangan
jemaat. Panitia pun segera bergerak mengumpukna tanda tangan jemaat, dan
terkumpul 150 tanda tangan. Saking bersemangatnya, penulis mengabaikan batas
wilayah, sehingga jemaat yang berasal dari wilayah kecamatan Pati juga ikut
tanda tangan. Misalnya kecamatan Gabus, Trangkil, Winong, Gembong, Margorejo,
Margoyoso dll. Mereka memang jemaat, namun seharusnya tanda tangan jemaat
mula-mula harus seputar kelurahan lalu meluas ke tingkat kecamatan, jika tidak
memenuhi jumlah baru bisa meluas ke kecamatan lain di wilayah kabupaten Pati.
Ya sudah… terlanjur tertata rapi, maju saja terus. Penandatanganan dilakukan
setiap usai ibadah minggu, langsung di bawakan printer foto copy untuk KTP.
Tanda
tangan Warga lebih menarik. Biasanya tidak mudah, karena warga banyak yang
beragama lain. Namun jika Tuhan sudah membuka jalan, maka tidak ada yang bisa
menutupnya. Bermula dari sosialisasi sebelum pembelian tanah, tanggal 9
November 2015, gembala jemaat bertemu dengan warga satu RT dalam pertemuan
resmi yang didampingi Ketua RT, RW, Lurah dan LPMK. Terjadi dialog yang sempat
membuat penulis “sport jantung” sambil “diam-diam” berdoa minta pertolongan
Tuhan. Dan Ebenhaezer …. Tuhan menggerakkan hatiw arga sehingga mereka
menyatakan setuju dengan kehadiran gereja. Bulan berikutnya, Desember 2015,
penulis men-sharekan rencana pengumpulan tanda tangan sebagai persyaratan
pengajuan IMB, dan warga menyatakan tidak keberatan. Bulan depannya, Januari
2015 barulah panitia bergerak. Dalam pertemuan PKK, panitia diundang untuk
hadir dan para ibu yang pertama-tama menandatangani formulir persetujuan
keberadaan gereja. Tidak perlu keliling door to door, bahkan beberapa bapak ada
yang datang sendiri untuk ikut tanda tangan. Tiga hari berikutnya, kembali
tanda tangan di adakan dalam pertemuan RT dan beranjang sana ke beberapa rumah
warga. Sama sekali tidak ada keberatan. Halleluya. hanya dalam waktu 3 hari
telah terkumpul 70 tanda tangan. Namun ketika di evaluasi, dari 70 tanda tangan
tersebut, ternyata ada 14 orang beragama Kristen/Katholik. Mestinya hal ini
tidak menjadi masalah, karena tidak ada ketentuan agama bagi 60 penandatangan.
yang penting mereka adalah warga sekitar gereja. namun untuk mencegah peluang “masuknya”
masalah dari oknum-oknum tertentu yang mungkin tidak menghendaki adanya gereja dan
mencari celah kelemahan, maka jumlah tanda tangan ditingkatkan menjadi 80 orang
dengan penambahan 10 orang beragama mayoritas. Dan inipun hanya berlangsung
satu jam, karena mereka sendiri yang turut membantu mengundang warga yang belum
tanda tangan.
Proses
legalisir dari masing-masing kecamatan juga tidak mengalami kendala, demikian
juga persyaratan lain semacam surat Sinode, surat pastoral gembala, surat
keterangan Lurah, sertifikat tanah. Akhirnya bendel laporan setebal 5 cm itu
jadi, dan diserahkan ke Kayandu tertuju ke Bapak Bupati. Copyan bendel
diserahkan ke Kantor Kemenag dan FKUB sebagai pemberi rekomendasi. Sisanya
untuk arsip RT, Kelurahan, dan kecamatan.
Ternyata ada kesalahan. Seharusnya untuk kemenag dan FKUb tidak boleh diserahkan langsung, melainkan ke Kayandu, barulah Kayandu yang akan mengirim ke Kemeneg dan FKUb dengan surat pengantar dari Kayandu. Untung saja, Kayandu masih mau toleransi dan bersedia menerbitkan surat rekomendasi yang harus diantar sebagai susulan ke Kemenag dan FKUB. Rupanya kesalahan tak sengaja ini juga dipakai Tuhan. Karena melalui kesalahan itu, maka penulis dapat berjumpa langsung dengan Kepala Bimas Kristen Protestan dan memberikan penjelasan yang perlu. Demikian juga dapat bertemu langsung, “face to face” dengan Ketua FKUB, sehingga terjadi dialog akrab – akademis theologis dan penjelasan mengapa saat ini sudah berdiri bangunan gereja meskipun belum mendapatkan ijin. Percakapan tersebut dapat menghindarkan pra-duga yang dapat menghalangi proses perijinan. Sekarang tinggal menunggu, bagaimana hasilnya.
"Hitherto
the Lord has helped us."
Januari 2015
Ebenhaezer
From the desk of Daniel Lauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar